Pengalaman Saat Menjadi MABA

Ini cerita ketika saya menjadi Mahasiswa Baru alias MABA di tahun 2003. Waktu itu kakak kelas kami dari satu Fakultas di salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Jakarta mengadakan acara penyambutan bagi kami para MABA. Ya biasalah, setelah Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus alias OSPEK, kayaknya gak lengkap kalo kakak mahasiswa dari Fakultas gak ngadain acara juga. Bener gak? 👀. Persiapannya seperti biasa, membawa ransel yang berisi pakaian bersih, perlengkapan shalat, air mineral, lampu senter, perlengkapan mandi dan obat-obatan pribadi.

Mahasiswi Lama 

Saya agak lupa nama tempatnya, kalau gak salah waktu itu kami menginap di salah satu villa di wilayah Mega Mendung. Rutenya agak berkelok jadi sampai sana sudah menjelang maghrib. Rencana awal kami harusnya menginap di tenda yang sudah disediakan, tapi karena hujan turun deras banget dan posisi tenda ada di dekat mushola dekat sungai kecil di bawah air terjun, jadilah tendanya banjir, dan kami yang perempuan tidur di villa yang seharusnya hanya ditempati oleh kakak mahasiswi. Nah mahasiswa semua tidur di mushola. 

Begitu jam 2 pagi, kami dibangunkan untuk berkumpul di depan villa. Mahasiswi baru harus berjalan berdua dalam satu kelompok, sementara mahasiswa sendirian saja untuk mencari pos-pos dan menjawab pertanyaan yang bakal diajukan oleh kakak kelas. Masing-masing dari kami memegang satu batang lilin dan harus dijaga jangan sampai padam. Karena kalau sampai padam, artinya kami baru bisa menyalakannya kembali setelah kami sampai di pos pemberhentian. 

Dari villa, kami harus menanjak ke bukit yang di sebelah kanannya banyak sekali pohon besar seperti hutan, sementara di sebelah kiri jurang. Jadi salah langkah ya bisa terguling, apalagi kondisi saat itu habis turun hujan. Jarak antara kelompok masing-masing lumayan jauh, jadi kami gak bisa saling menyusul atau tiba-tiba ketemu di jalan terus jadi jalan bareng ke pos.

Ini agak curang sebenarnya, jadi setelah yang laki-laki jalan semua, kami yang perempuan dibekali lampu senter, tapi hanya 1 orang saja yang bisa pegang dan baru bisa dipakai kalau lilinnya padam sementara jarak menuju pos masih jauh. Awalnya semua baik-baik saja, sampai saya merasa ada kejanggalan ketika saya sampai di bukit. Di atas bukit, tiba-tiba ada aroma wangi seperti bunga melati tapi hanya selewatan saja. Saya pikir ah paling ada pohon melati yang tumbuh di sekitar situ.

Tapi saat hendak turun dari bukit begitu saya lihat ke bawah, ada sosok perempuan berkerudung putih yang berjalan di depan kami. Dan ketika sosok itu hampir menengok ke belakang, lalu saya istighfar dan tiba-tiba sosok itu hilang begitu aja. Saya sempat berhenti sebentar karena kaget, lalu teman saya yang kebetulan orangnya super panik, kaget karena saya tiba-tiba berhenti. Waktu dia tanya ada apa, saya bilang gak ada apa-apa, karena takut dia panik. 

Begitu sampai pos pertama, kakak mahasiswa sempat memanggil saya beberapa kali karena saya masih bingung dengan yang saya lihat, sementara lilin sudah meleleh di tangan. Dia sempat tanya karena khawatir setelah lihat banyak bekas lelehan lilin menempel di tangan saya. Tapi saya bilang gak apa-apa dan mau terus lanjut ke pos berikutnya.

Di perjalanan menuju pos 2, kami harus melewati jembatan cukup panjang, masih dengan lilin yang sama. Ketika jalan, entah mengapa pandangan mata saya seperti ditarik supaya melihat ke atas pohon. Saya gak tahu itu pohon apa, tinggi sekali dan gak mungkin bisa dipanjat orang, apalagi dini hari kan? Tetapi ada sosok yang berdiri di atas ranting pohon, pakaiannya putih. Duh. Jago banget kan ya bisa berdiri tanpa pegangan tangan dan gak takut jatuh. Sudah mulai agak deg-degan sebenarnya, tapi saya berusaha tenang dan terus berdzikir dalam hati. Berusaha berpikir positif kalau itu cuma kakak mahasiswa yang lagi iseng cosplay di atas pohon entah bagaimana cara dia naik atau turun karena tinggi banget. 😅

Setelah itu Alhamdulillah perjalanan kami aman sampai ke pos-pos berikutnya tanpa ada kendala. Hanya sempat melihat ada cosplay lontong putih sedang rebahan di atas tikar, dan saat itu saya tahu kalau itu pasti kakak mahasiswa. 

Kami sampai kembali ke villa pas jam 5 pagi. Setelah bersih-bersih dan shalat shubuh, kami berkumpul. Ada satu kakak mahasiswa yang kebetulan (ternyata) teman abang saya di SMA, dia tanya kondisi saya karena cerita tentang lilin meleleh sudah ramai 🙈. Pas dia tanya 'memang kamu gak merasa tanganmu panas?'. Saya jawab mungkin karena saat itu dingin jadi saya gak merasa kepanasan sama sekali, padahal begitu turun ke mushola, sekitar jari telunjuk dan ibu jari saya sudah merah-merah.

Kakak mahasiswa cerita kalau mereka sengaja mengerjai kami dengan kostum lontong putih, dan semua MABA juga lihat itu. Lalu saya gak sengaja bilang dan tertawa kalau saya juga lihat perempuan berkerudung putih dari atas bukit, dan orang bergamis putih di atas pohon di dekat sungai. Tiba-tiba mereka kaget karena saat itu kakak mahasiswi sama sekali gak turun dan gak ada yang memakai kerudung putih. Dan mereka bilang kalau di atas bukit di sebelah kanan itu area makam. Soal ada yang naik-naik ke atas pohon tinggi, mereka bilang gak berani mengerjai sampai sebegitunya. Artinya mereka hanya mengerjai dengan pura-pura menjadi pocong saja. Gantian saya yang ketawa karena shock. Dan mereka akhirnya paham mengapa saya gak merasakan apapun ketika lilin panas meleleh di tangan.